GARDAPELITANEWS.COM | PARE, JAWA TIMUR – Di sebuah desa kecil yang lebih dikenal Kampung Inggris daripada Tulungrejo. Sebuah transformasi senyap tengah berlangsung di bawah rindang bambu. Selama 18 tahun terakhir, sebuah inisiatif akar rumput yang bersahaja bernama Rumah Anak Bangsa telah memimpin pemberontakan budaya—bukan dengan slogan atau senjata, melainkan dengan kata-kata.Rabu. (23/07/25).

Ini bukan ruang kelas yang digawangi oleh pemerintah. Ini adalah gerakan sipil—sebuah universitas bawah tanah bagi bahasa dan pemikiran. Lahir dari cita-cita Smart ILC, sebuah kolektif pendidikan lokal. Rumah Anak Bangsa menjadi tempat perlindungan di mana bahasa tidak sekadar dipelajari, melainkan dihidupi. Sebab bahasa adalah kehidupan, ucap Miss Uun waktu itu saat di kelas bahasa Indonesia.

Di sini, diskursus berarti. Di rumah sederhana yang diubah menjadi tempat berlindung. Pemuda dari berbagai daerah di Indonesia menulis ulang masa depannya—satu diskusi, satu buku, dan satu kata jujur pada satu waktu.
“Bukan cuma soal grammar atau esai, ini tentang membangunkan jiwa-jiwa itu lewat cicilan kalimat,” ujar Sakkir.

TEMPAT DI MANA PENULIS DICIPTAKAN, BUKAN DINOBATKAN
Dari pertemuan hari Minggu. Setiap pukul 16.00 Wib hingga petang, Rumah Anak Bangsa menumbuhkan generasi penulis, moderator, debat, dan pemikir. Ketika yang lain sibuk berswafoto di Gunung Bromo, para pemuda(i) ini duduk di kursi plastik, bertukar ide di bawah pohon sukun dan bambu. Mereka memperdebatkan penulisan ulang sejarah Indonesia, membedah Pramoedya, dan menemukan sajak Sapardi Djoko Damono melalui buku Sunyi Adalah Minuman Keras—bukan dari privilese, tapi dari perjuangan untuk bertahan di antara cicilan tulisan.

Sebuah forum demokratis bagi mereka yang tak terdengar. Ajang pembuktian di mana kecerdasan—mentah dan belum diasah—adalah satu-satunya mata uang yang berlaku. “Mereka datang sebagai murid dan mereka pergi sebagai penulis sejarahnya sendiri,” tutur Sakkir.

BIOSKOP KELILING BERJIWA KESEDERHANAAN

Di masa ketika hiburan kerap mengalahkan substansi, sebuah program Bioskop Keliling dari Rumah Anak Bangsa mencoba membalikkan keadaan. Dipimpin oleh seorang pemuda yang dijuluki “Hulk” dari Bau-Bau, Sulawesi Tenggara. Inisiatif Bioskop Keliling membawa film dokumenter bertema sosial ke pelosok-pelosok terpencil. Ini bukan sekadar pemutaran film, melainkan ruang dialog. Nobar dan diskusi film volume 1 2024: Memoar Pengabdian Rasul Kaum Marjinal (Dokumenter Tentang Komunitas Penyandang Kusta).

Tim di baliknya—Miss Uun, Ono, Fadel, Kaisar, Ain, dan Iwan Kakofoni sebagai pelapak Tualang Buku—tidak meminta pendanaan. Mereka meminta partisipasi untuk berbagi dan berjalan pulang ke diri sendiri. Yang mereka berikan adalah kelas berjalan tentang empati dan pemahaman. Sebuah bentuk budaya yang hadir sesuai kebutuhan, di desa-desa yang kerap luput dari perhatian program pemerintah.

Inilah sekolah akar rumput yang diperjuangkan Rumah Anak Bangsa: aksi yang lahir dari keyakinan, bukan dari komisi.

SEKOLAH PARA KATA

Rumah Anak Bangsa tumbuh bersama kolektivisme. Saat hujan turun, mereka pindah ke dalam, kelas Smart ILC. Saat ruang sempit, mereka beradaptasi. Saat peserta menipis, semangat mereka justru meluap. Tak ada logo korporat. Tak ada birokrasi berbelit. Hanya buku, keyakinan, dan hasrat akan keberanian.

“Sebuah pengingat bahwa perjuangan pendidikan tak selalu butuh gedung—tapi butuh keyakinan untuk bertumbuh secara organik.”

PULANG KE RUMAHNYA SENDIRI

Bagi banyak peserta, memasuki Rumah Anak Bangsa bukan sekadar keputusan pendidikan—melainkan keputusan eksistensial. Di sini, mereka menemukan kata-kata baru, tapi juga dunia baru. Istilah-istilah asing dalam literatur mencerminkan bagian-bagian diri yang selama ini tak mereka pahami—hingga akhirnya bisa diungkapkan.

“Rasanya seperti ditembak dengan kosa kata,” ucap Sakkir salah satu peserta diskusi kala itu.
“Bukan terluka, tapi terbangun.”

Di era di mana gawai menggantikan gagasan, rumah kata ini menjadi benteng melawan kebodohan—menyusur dan menuntun generasi muda melewati kabut disinformasi, ketakutan, dan standar rendah.

BAHASA SEBAGAI TALI PENYELAMAT

Delapan belas tahun berlalu, Rumah Anak Bangsa bukan lagi sekadar rumah. Ia adalah gerakan. Ia adalah simbol. Ia adalah penolakan terhadap komersialisasi pendidikan, dan tekad untuk tidak membiarkan bahasa mati di pinggiran kehidupan.

“Ulang tahun ini bukan perayaan panjang usia—melainkan pernyataan tentang keberlanjutan makna.”

Dunia di mana judul berita berteriak dan jalanan dipenuhi diam, rumah kecil di Pare ini menyampaikan satu gagasan berbahaya. “Bahwa setiap warga, dengan bahasa sebagai senjata, punya kuasa untuk bertanya, untuk terhubung, dan untuk mencipta. Dan itu, barangkali adalah hal paling radikal dari semuanya,” tutup Sakkir.

Kontributor : Sakkir basi

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *