Siswa Kelas XII IPS SMA AL MUCHTAR Singaparna melaksanakan study lapangan ke Kampung Naga Kabupaten Tasikmalaya
Kab.Tasikmalaya ][ gardapelitanews.com – Seluruh siswa kelas XII IPS SMA AL MUCHTAR Singparna disamping melaksanakan tugas kelompoknya, mereka bersenang-senang menikmati suasana di sekitar Kampung Naga, Kabupaten Tasikmalaya – Jawa Barat. Kampung Naga adalah salah satu kekayaan budaya yang dimiliki Kabupaten Tasikmalaya. Jika dilihat dari kacamata pariwisata, Kampung Naga adalah salah satu rural tourism yang memperkaya destinasi wisata di Jawa Barat.
Merujuk organisasi pariwisata dunia, rural tourism adalah jenis aktivitas wisata, di mana pengunjungnya mendapatkan pengalaman terkait berbagai produk yang dihasilkan dari aktivitas berbasis alam, pertanian, gaya hidup dan budaya pedesaan. Nah semua itu ada di Kampung Naga.
Kampung Naga sendiri berada di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Letaknya di pinggiran jalur utama Garut-Tasikmalaya, bahkan dapat dikatakan berada di perbatasan wilayah Garut-Tasikmalaya.
Untuk menjangkau ke Kampung Naga, pengunjung harus berjalan kaki dari lokasi parkir. Jaraknya sekitar 500 meter dengan kontur jalan yang curam. Karena Kampung Naga berada di lembah bukit, nyaris sejajar dengan aliran Sungai Ciwulan. Tapi jangan khawatir, akses menuju Kampung Naga sudah ditata berupa susunan tangga. Walau pun curam, namun tidak membahayakan.
Kampung Naga, Kabupaten Tasikmalaya.
Perjalanan menuruni anak tangga itu tak terlalu melelahkan atau membosankan, karena sepanjang jalan disuguhi panorama pedesaan yang indah. Hamparan sawah, hutan hijau, aliran air dan aktivitas warga. Tanpa terasa, suasana itu mengantarkan kita ke tujuan.
Kesan pertama yang tertangkap dari kampung ini adalah kebersihan dan kerapiannya. Lingkungannya bersih, suhu udara adem. Di sisi kanan aliran Sungai Ciwulan bergerak tenang mengeluarkan suara gemericik. Di sebelah kiri deretan rumah tertata rapi, bagian depan rumah menghadap utara atau selatan. Sementara suhunan atau atap bangunan memanjang dari timur ke barat.
Semuanya beratap ijuk, dengan bangunan berbahan kayu hutan. Bangunan rumah panggung itu ditopang oleh batu sebagai pondasi. Meski sederhana, namun ventilasi berupa jendela membuat rumah memiliki sirkulasi udara yang cukup. Suasananya pun adem dan yang tak kalah penting rumah ini tahan gempa. Setidaknya ketika gempa 7,2 SR terjadi di Tasikmalaya tahun 2009 silam, di Kampung Naga tak ada yang terdampak. Semua rumah tahan goyangan gempa.
Selain sawah ada pula kolam-kolam ikan milik warga. Ada pula tanah lapang di depan mesjid kampung yang juga memiliki arsitektur serupa dengan rumah warga. Aktivitas warga relatif tenang, tak ada hiruk pikuk. Sebagian terlihat mengurusi sawah, di kolam ikan atau meraut bilah bambu untuk bahan kerajinan. Sementara di tanah lapang, anak-anak asyik bermain. Warga menyambut hangat setiap tamu yang datang.
Asal Nama Kampung Naga
Sepintas mendengar nama Kampung Naga, imajinasi pasti melayang pada sosok ular mitos masyarakat Tiongkok. Padahal Kampung Naga tidak memiliki hubungan sama sekali dengan ular naga.
“Boro-boro ular Naga, ular sawah pun jarang ditemui di Kampung Naga.
Punduh sendiri di masyarakat Sunda umumnya merujuk kepada Kepala Dusun atau Kepala Kampung. Namun di Kampung Naga, strukturnya sedikit berbeda. Punduh berada di bawah Kuncen atau Ketua Adat.
“Jadi pemimpinnya Kuncen, di bawahnya ada Punduh dan Lebe. Kalau Punduh tugasnya ‘ngurus laku meres gawe’ (mengatur perilaku dan membereskan tugas), kalau Lebe lebih kepada urusan keagamaan, misalnya memimpin doa, pengajian dan lainnya.
Reporter : Usep Rapi Sapari